Katanya
sesuatu yang indah itu belum tentu indah. Katanya sesuatu yang indah
itu belum tentu mudah. Katanya sih sesuatu yang kita impikan belum tentu
terwujud. Jadi… buat apa kita percaya akan impian dan terus bermimpi
kalo belum tentu semuanya terwujud….
Beberapa hari terakhir ini fikiranku disibukkan dengan kata-kata
seseorang kepada ku. Seseorang yang aku tak percaya akan dapat merubah
pemahamanku akan sebuah mimpi. Seseorang yang begitu aku kagumi dan tak
mudah menyerah akan sesuatu keadaan. Namun semenjak kata-kata itu
terucap darinya, kekagumanku berkurang. Keyakinanku akan sebuah mimpi
dan bermimpi semakin terkikis. Begitu juga dengan rasa percaya diriku.
Aku adalah seorang gadis yang masih menyakinkan diri akan sebuah jati
diri. Gadis yang masih terlantung dalam kesibukan dunia untuk menggambar
diri. Ketika gadis seusiaku tengah sibuk mengarungi kehidupan barunya,
aku masih disibukkan dengan pencarian. Bukan karena aku terlambat untuk
mengetahui pentingnya pemahaman diri, namun aku merasa pencarianku
selama ini belumlah menjawab semua hal. Hari itu, ketika ia duduk
bersamaku, seorang sahabat menemani. Senyumnya yang tak pernah terlihat
lesu dan selalu bersemangat itu kini diwarnai kelabu nimbus yang
membendung berliter-liter hujan didalamnya. Terhenyak di sampingku, di
kursi taman SMA yang nyaris sempurna. Memandang tak terbatas akan
cakrawala langit yang seakan mengerti perasaanya. Pandangan yang selama
ini tak pernah terlukis dalam wajahnya yang ayu.
Fikiran ku ikut hanyut sibuk menerka sejuta rasa yang terlukis di
wajahnya. Wajah yang kerap kali memperlihatkan keoptimisan kini
merundung bingung. Ku hempas keheningan dengan menepuk punggungnya
konyol yang ia tanggapi dengan senyum asam tak semangat.” Hoi…dikau
kenapa, tumben banget Anggita Rahardya Anggi Putri merenung kaga karuan”
sapaku sekonyol mungkin berharap ia akan merubah mimic menyebalkan itu.
Gigis, begitu ku panggil sahabatku, hanya menoleh lemas melemparkan
senyum kepedihan sekali lagi. “woi…kamu kenapa sih ga biasanya kaya
gini, may you sharing with me? ” isengku dengan bahasa asing yang masih
ku coba untuk mengimprovenya. Lagi-lagi pemandangan yang ga aku suka
terlihat diiringi tiupan panjang dari sudut bibir yang dimonyongkannya
sebisa mungkin. Hening sesaat hanya angin dan gerisiknya dedaunan yang
menemani latar kami menit itu. “Za… apa aku terlalu percaya mimpi…apa
aku hanya bisa bermimpi” Tanya gigis serius padaku tanpa melepaskan
pandangannya dari cakrawala langit dan imajinya. “wow…what is going on
baby…serius bangat pertanyaannya, I think for a long time your the one
girls who believe in dreams strongly, aren’t u” tanggapku tak memercayai
perkataan yang baru saja meluncur dari mulut mungilnya. Terdengar
desahan panjang sekali lagi diiringi nafas tertahan yang ku artikan
bahwa Gigis sangat sangat serius. Aku diam. Lagi lagi terdiam. Diam yang
bermakna sangat panjang bagi Gigis untuk menceritakan semuanya padaku.
Aku hanya diam…diam dan terdiam mendengar setiap untaian pendek dan
panjang Gigis di sela isakan tangisnya. Ku peluk Gigis dalam dalam di
pelukanku.
Seakan sangat lekat dan sekan kejadian itu hangat dalam benak ku,
walaupun itu terjadi setahun yang lalu. Tahun terakhirku di SMA sempurna
yang nyaris mengukir hidupku sempurna kecuali tanpa kisah tragis Gigis
sahabatku yang meninggalkan aku dan dunia indah ini. Gigis membuatku
bertambah kuat dan dewasa, membuatku tersadar bahwa kita hidup bukan
hanya untuk terus bermimpi dan bermimpi tanpa berusaha untuk wujudkan
mimpi karena waktu terus bergulir dan kita akan berlomba dengannya untuk
wujudkan mimpi.
Imajiku tertuntun kembali pada latar bangku taman SMA sempurna yang
kami berdua duduki 2 tahun yang lalu. Harumnya udara musim kemarau
mengiyangkan suara hopless dari Gigis. “Za…kamu sahabat terbaiku, kamu
tau apa mimpiku, kamu tau apa yang ingin ku lakukan, u know what I want
and must do” tutur Gigis lemas disela isakan tangisnya. Ku ikuti tatapan
nanar Gigis ke segrombolan awan Columbus pembawa partikel hujan. Imaji
dan fikirku bercampur aduk tanpa batas yang jelas, mendengar untaian
kisahnya. Gigis berbagi 15 menit penuh intrik bersamaku. Hidupnya kini
hanyalah sebuah dadu yang mengikuti arah hentakan si empunya yang
berharap mewujudkan keinginan si empu. Gadis optimis dengan talenta
menarik di dunia seni dan bahasa itu seakan terjebak dalam hasutan
keyakinan kedua orang tuanya. Keinginannya untuk tetap menelusuri bakat
seni serta sastra seakan hanyalah benalu indah bagi kedua orang tuannya.
Mereka mengaharapkan Gigis menjadi boneka mereka dengan melanjutkan
study di London dengan jurusan magister bisnis untuk melanjutkan
kejayaan keluarga. Gigis anak tunggal dari pasangan pembisnis terkaya di
Bandung yaitu keluarga Rahardya Putra. Anak yang cerdas, menyenangkan
dan tau cara ngeblend dengan kalangan yang tak setara dengannya. Hanya
sayang ia menjadi putri tunggal mereka, sehingga segala ambisi keduanya
terpaksa ditanamkan pada Gigis.
Seminggu usai percakapan itu Gigis pun pergi meninggalkan kegairahan
SMA kami yang nyaris sempurna. Orang tuannya memindahkannya ke Inggris
untuk mendapatkan gelar kesarjanaan disana. Ya system Inggris dan
Indonesia memang berbeda untuk study. Tanpa ucapkan salam perpisahan
yang kental dengan kesedihan karena janji kami berjanji untuk bertemu
lagi suatu saat nanti ia pun meninggalkan persahabatan kami yang semanis
conceitto.
Tanpa terasa harumnya dedaunan yang tertiup angin musim panas memaksa
untaian bening mataku mengalir, mengalir untuk mengingat semua janji
dengan Gigis. Janji untuk bertemu kembali, karena setahun kemudian Gigis
pergi meninggalkan kami semua. Ia pergi tanpa ucapkan perpisahan, ia
pergi setelah tahun kesedihan dan kesabarannya menjalankan kemo
menyisakan sayatan nyeri tubuhnya. Ia pergi tanpa sehelai kabar padaku
bahwa ia mengalami tahun sulitnya sendiri, tahun yang menggrogotinya
tanpa ampun, tahun dimana sesak dan himpitan menemaninya,
leukemia…hanya leukemia yang menemaninya hingga akhir. Ya setahun lalu
ia pun pergi kembali meninggalkanku untuk selamanya, tanpa kata
perpisahan terurai darinya. Ia tak pernah mengeluh atau pun berbagi
kisah leukemianya pada siapapun, ia hanya ingin membuat orang lain
bahagia tanpa peduli ia tersiksa.
Ku hapus air mata yang tetap mengalir menyentuh pipiku. Ku simpan buket
bunga lili putih di atas peristirahatan terakhirnya. Lili putih yang
dapat membuatnya senang saat menciumnya. Ku pandangi pusaran itu untuk
pertama kali karena aku sahabatnya telah menjadi orang terakhir yang
melihat pembaringan itu setelah 1 tahun. “Gigis sayang, Za ga nyalahin
kamu karena kamu ga kasih kabar 2 tahun terakhir semenjak kita berpisah,
karena Za yakin Gigis sahabatku tetap menjadi Gigis yang sempurna,
sahabat sempurna untuk Za”. Ku tinggalkan Gigis tenang di
peristirahatannya, ku pandangi langit yang nyaris sama dengan langit
saat kami berdua duduk ditaman SMA sempurna.
“Gigis terimakasih untuk menyadarkan aku bahwa segala sesuatu yang
indah memiliki tahapan yang tak indah untuk menggapainya, sesuatu yang
sempurna seperti mimpi-mimpi kita tak selalu terwujud sempurna namun
menjadi pemimpi yang berusaha mewujudkan mimpi adalah arti dari sebuah
hidup yang indah. Terimakasih untuk ingatkan aku, untuk mendewasakan aku
dengan kebersamaan singkat kita” ku tersenyum melihat nimbus dan
colombus yang kini beriringan hendak menyiramkan hujan di tengah
kegersangan musim kemarau yang nyaris tanpa hujan.
Kita memiliki mimpi untuk diwujudkan
Kita memiliki imaji untuk bermimpi
Kita memiliki logika menyusun keindahan mimpi
Mimpi … mimpi…
jadikan mimpi sang pemimpi menjadi realita bukanlah imaji
Imaji yang hanya bergelayut manis tanpa pernah menjadi HIDUP
Bermimpilah untuk hidup
Kita hidup untuk bermimpi
menjadi pemimpi dan menjadikannya NYATA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar